Legalisasi Gereja vs. Ganja - Moralitas Ganja Kembali Dipertanyakan.

Legalisasi Gereja vs. Ganja – Moralitas Ganja Kembali Dipertanyakan.

Node Sumber: 3074507

gereja tentang legalisasi ganja

Menavigasi interaksi kompleks antara dogma, moralitas, dan evolusi masyarakat bukanlah hal yang mudah, terutama ketika berhadapan dengan keyakinan yang mengakar kuat dari institusi seperti Gereja. Penentangan moralistik baru-baru ini terhadap legalisasi ganja oleh Uskup Agung Aquila merupakan bukti tantangan yang terus-menerus dalam menghilangkan dogma-dogma yang sudah lama tidak relevan lagi. Dogma, pada dasarnya, tidak mendukung pertanyaan dan mendukung pandangan moralitas yang statis, sering kali bertentangan dengan sifat dinamis masyarakat dan budaya manusia.

Gereja, secara historis, tidak hanya menjadi institusi keagamaan namun juga merupakan kompas budaya dan moral, yang sangat terkait dengan pemerintahan negara meskipun ada pemisahan antara gereja dan negara. Peran ini sudah sering terlihat Gereja bertindak sebagai penegak spiritual norma-norma masyarakat, selaras dengan kebijakan pemerintah. Namun permasalahan yang ada bukan hanya mengenai keselarasan Gereja dengan kebijakan pemerintah, namun juga kekakuan yang melekat pada gagasan-gagasan yang sudah ketinggalan zaman dalam menghadapi masyarakat yang terus berkembang.

Kita menyaksikan perubahan signifikan dalam norma-norma budaya dan masyarakat, transisi dari nilai-nilai kuno Pisces ke era di mana pemberdayaan dan pencerahan individu diutamakan — sebuah era di mana 'Manusia menjadi Tuhan.' Pergeseran paradigma ini menantang otoritas tradisional lembaga-lembaga seperti Gereja, memaksa mereka untuk menghadapi dan beradaptasi dengan realitas masyarakat baru atau berisiko menjadi ketinggalan zaman.

Argumen Uskup Agung Aquila yang menentang legalisasi ganja merupakan contoh nyata perjuangan yang dihadapi lembaga keagamaan di era baru ini. Pandangan uskup agung mencerminkan penolakan untuk mengakui hal tersebut mengubah persepsi dan pemahaman tentang ganja, baik secara medis maupun rekreasi. Keengganan untuk mengembangkan dan mempertimbangkan kembali keyakinan lama berdasarkan bukti baru dan perubahan masyarakat inilah yang ingin ditentang oleh Reginald.

Pada artikel ini, kami akan menelitinya Klaim Uskup Agung Aquila, menguraikan setiap argumen dengan perpaduan informasi faktual, pemahaman masyarakat kontemporer, dan sentuhan humor yang tidak sopan. Tujuannya bukan hanya untuk menentang sudut pandang uskup agung tetapi untuk menyoroti isu yang lebih luas tentang bagaimana keyakinan dogmatis dapat menghambat kemajuan masyarakat dan penerimaan ide-ide baru.

Saat kita memulai perjalanan analitis ini, penting untuk diingat bahwa mempertanyakan dan menantang dogma bukan hanya tentang memenangkan argumen. Ini tentang membina masyarakat yang menghargai pemikiran kritis, menerima perubahan, dan menghormati pilihan individu. Ini tentang menciptakan dunia di mana dogma tidak menghambat inovasi dan kemajuan, namun hidup berdampingan dengan pemahaman yang terus berkembang tentang apa artinya menjadi manusia.

Klaim yang dibuat oleh Uskup Agung Aquila, yang menyatakan bahwa “pengguna ganja pada umumnya mengonsumsi 40 mg THC sekaligus,” tidak hanya kekurangan bukti empiris tetapi juga menggambarkan kesalahpahaman mendasar tentang kebiasaan konsumsi ganja dan dampaknya. Pernyataan ini, yang menyamakan sesi minum ganja dengan mengonsumsi “8 hingga 16 gelas sekaligus,” tidak hanya dibesar-besarkan tetapi juga menyesatkan karena membandingkan efek ganja dengan alkohol, suatu zat dengan farmakodinamik dan dampak sosial yang sangat berbeda.

Untuk mengontekstualisasikan klaim uskup agung tersebut, penting untuk memahami kandungan THC yang umum dalam produk ganja. Itu rata-rata bunga ganja mengandung sekitar 10-15% THC. Bahkan dalam kasus konsentrat, yang memiliki persentase THC lebih tinggi, jumlah sebenarnya THC yang dikonsumsi per sesi tidak mendekati 40 mg. Sebagian besar konsumen, berdasarkan pola penggunaan dan ketersediaan produk, mengonsumsi antara 7-14 gram ganja per minggu. Tingkat konsumsi ini jauh lebih mirip dengan menikmati 1-2 bir dibandingkan dengan 8-16 minuman beralkohol yang setara.

Selain itu, perbandingan Uskup Agung Aquila mengabaikan perbedaan waktu paruh dan dampak terhadap keterampilan motorik antara ganja dan alkohol. Meskipun alkohol dikenal karena dampaknya yang signifikan terhadap keterampilan motorik dan penilaian, sehingga menyebabkan situasi yang berpotensi berbahaya, ganja tidak menghasilkan efek ekstrem seperti itu. Oleh karena itu, perbandingan tersebut bukan hanya tidak akurat namun juga secara tidak bertanggung jawab menyamakan dua substansi yang sangat berbeda.

Kesalahpahaman atau penafsiran keliru yang dilakukan oleh Uskup Agung Aquila merupakan simbol dari permasalahan yang lebih luas: berlanjutnya ketidakbenaran dan stigma seputar ganja. Klaim-klaim tersebut, terutama jika datang dari tokoh-tokoh berpengaruh, berkontribusi terhadap misinformasi dan prasangka yang terus berlanjut terhadap pengguna ganja. Wacana publik harus didasarkan pada fakta dan data empiris, dibandingkan melanggengkan stereotip yang sudah ketinggalan zaman dan tidak terbukti.

Bagi pemimpin agama seperti Uskup Agung Aquila, yang mempunyai kepercayaan dan pengaruh, sangat disayangkan melihat kurangnya wawasan dan keakuratan dalam membahas penggunaan ganja. Hal ini mengingatkan kita pada tokoh Alkitab lainnya yang terkenal karena menyebarkan kebohongan.

Klaim luas yang dibuat oleh Uskup Agung Aquila bahwa “ganja terbukti memberikan dampak buruk yang besar bagi penggunanya” adalah contoh lain dari generalisasi luas yang gagal mengenali kompleksitas dan nuansa penggunaan ganja. Ini adalah pendekatan reduksionis yang secara tidak adil menjelek-jelekkan ganja dengan mengabaikan keragaman pengalaman pengguna dan banyaknya faktor yang berkontribusi terhadap dampak buruk ganja.

Bukti empiris menunjukkan bahwa meskipun konsumsi berlebihan terhadap apa pun, termasuk ganja, dapat menimbulkan dampak buruk, namun pernyataan bahwa semua pengguna akan terkena dampak yang sama adalah tidak akurat. Kenyataannya, mayoritas pengguna ganja – sekitar 9 dari 10 – dapat menjaga hubungan yang sehat dengan zat tersebut. Bagi banyak orang, ganja tidak berfungsi sebagai alat yang berbahaya tetapi sebagai sumber kelegaan dan kenyamanan, terutama untuk tujuan medis. Para pengguna ganja menggunakan ganja secara bertanggung jawab, tanpa menyebabkan dampak buruk yang signifikan pada kehidupan mereka.

Penting juga untuk menyadari bahwa ada sekelompok individu di setiap demografi yang mungkin lebih rentan terhadap kecanduan dan penyalahgunaan narkoba. Namun, kerentanan ini tidak hanya terjadi pada ganja dan merupakan interaksi kompleks antara faktor genetik, lingkungan, dan psikologis. Menyalahkan ganja secara eksklusif sebagai penyebab kecanduan mengabaikan kompleksitas dan sifat individual dari gangguan penyalahgunaan zat.

Pendirian Uskup Agung Aquila tidak hanya salah menggambarkan realitas penggunaan ganja namun juga mengabaikan manfaat terapeutik signifikan yang ditawarkannya. Sejumlah penelitian dan kesaksian pasien telah menyoroti efektivitas ganja dalam mengatasi nyeri kronis, mengurangi gejala PTSD, dan meredakan berbagai kondisi medis lainnya. Mengabaikan manfaat-manfaat ini dan memberi label ganja sebagai sesuatu yang berbahaya secara universal berarti mengabaikan kenyamanan dan potensi penyembuhan bagi mereka yang membutuhkan.

Selain itu, pendirian Aquila mencerminkan isu yang lebih luas yaitu penolakan individu terhadap otonomi untuk membuat keputusan mengenai tubuh mereka sendiri. Melarang penggunaan ganja berdasarkan klaim yang berlebihan dan umum merupakan bentuk tindakan berlebihan yang melanggar kebebasan pribadi. Hanya pendekatan tirani yang berupaya mengendalikan pilihan-pilihan pribadi tersebut tanpa mempertimbangkan beragam pengalaman dan kebutuhan individu.

Meskipun kita perlu mengenali potensi risiko yang terkait dengan penggunaan ganja, kita juga harus menjaga perspektif yang seimbang. Pernyataan-pernyataan umum mengenai ganja yang menyebabkan kerugian universal tidak hanya salah secara empiris namun juga berbahaya, karena hal tersebut melanggengkan kesalahpahaman dan menghalangi orang untuk mengakses suatu zat yang secara signifikan dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.

Klaim Uskup Agung Aquila bahwa mariyuana legal merugikan semua orang, kecuali pemerintah yang mendapat keuntungan dari pendapatan pajak, adalah pernyataan lain yang tidak bisa dicermati. Angka yang sering disebutkan bahwa peraturan memerlukan biaya $4.50 untuk setiap $1 yang dihasilkan dari pajak ganja adalah statistik yang disebarkan oleh kelompok pelarangan ganja seperti SAM (Smart Approaches to Marijuana) dan tidak secara akurat mewakili dampak ekonomi dari ganja yang dilegalkan.

Pertama dan terpenting, penting untuk menghilangkan prasangka rasio biaya-manfaat yang menyesatkan. Klaim tersebut mengabaikan kontribusi ekonomi yang lebih luas dari industri ganja legal. Industri ini tidak hanya menghasilkan pendapatan pajak yang besar tetapi juga menciptakan banyak lapangan kerja, berkontribusi pada skema asuransi kesehatan, dan merangsang kegiatan ekonomi di sektor terkait. Bisnis ganja legal merupakan kontributor penting bagi perekonomian, membayar gaji, membeli layanan, dan berkontribusi kepada masyarakat dalam berbagai cara.

Selain itu, argumen tersebut mengabaikan beberapa manfaat penting dari legalisasi ganja:

  • Mengurangi Ketergantungan pada Obat-obatan: Ganja legal memberikan alternatif terhadap obat-obatan farmasi, khususnya dalam pengelolaan rasa sakit dan kondisi kesehatan mental. Pergeseran ini dapat menyebabkan penurunan ketergantungan terhadap obat-obatan, yang seringkali lebih mahal dan berpotensi membahayakan.

  • Mitigasi Krisis Opioid: Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa di wilayah yang memiliki akses legal terhadap ganja, terjadi penurunan kecanduan opioid dan kematian terkait. Aspek ini saja sudah menunjukkan penghematan yang signifikan baik dari segi ekonomi maupun nyawa manusia.

  • Keselamatan Lalu Lintas: Bertentangan dengan kesalahpahaman umum, belum ada peningkatan pasti dalam kematian lalu lintas akibat legalisasi ganja. Hubungan antara penggunaan ganja dan gangguan mengemudi sangatlah kompleks dan berbeda dengan hubungan alkohol.

  • Menghasilkan Pendapatan: Industri ganja legal memang menghasilkan pendapatan yang signifikan. Berbeda dengan perang melawan narkoba yang memakan banyak biaya, yang menguras sumber daya publik dan tidak menghasilkan keuntungan apa pun, industri ganja memberikan kontribusi positif terhadap anggaran negara bagian dan lokal.

  • Menghormati Otonomi Individu: Legalisasi menghormati hak individu untuk menentukan pilihan mengenai konsumsinya, asalkan tidak merugikan orang lain. Prinsip ini merupakan dasar bagi masyarakat bebas dan tidak dapat diabaikan.

Klaim Uskup Agung Aquila tentang dampak ekonomi dari ganja legal tidak mempertimbangkan keseluruhan manfaat ekonomi dan sosial yang terkait dengan legalisasi. Dengan hanya berfokus pada biaya regulasi dan mengabaikan dampak positif yang lebih luas, klaim tersebut memberikan gambaran yang tidak tepat dan tidak lengkap mengenai realitas ganja legal.

Pernyataan Uskup Agung Aquila bahwa legalisasi ganja di negara bagian seperti Colorado dan California telah menyebabkan lonjakan perdagangan obat-obatan terlarang telah salah menafsirkan situasi. Ketergantungannya pada berita selektif untuk melukiskan narasi kegagalan mengabaikan nuansa permasalahannya, terutama bagaimana pajak yang berlebihan dan peraturan yang ketat secara tidak sengaja telah memicu pasar gelap.

Kisah-kisah yang dikutip dari Los Angeles Times tidak secara inheren menunjukkan kegagalan legalisasi ganja. Sebaliknya, mereka menyoroti perjuangan pasar ganja legal dalam menghadapi pajak yang tinggi dan peraturan yang rumit. Kondisi ekonomi seperti ini secara tidak sengaja telah membuat operasi ilegal menjadi lebih mudah dilakukan oleh beberapa petani dan penjual. Pajak yang tinggi dan persyaratan peraturan yang ketat dapat menaikkan harga ganja legal, sehingga kurang kompetitif dibandingkan ganja ilegal. Namun situasi ini bukanlah sebuah dakwaan atas legalisasi itu sendiri, melainkan bagaimana hal itu diterapkan.

Di pasar di mana ganja legal dikenai pajak dan diatur secara ketat, tidak mengherankan jika beberapa petani dan penjual mungkin memilih untuk beroperasi di luar kerangka hukum agar tetap kompetitif. Fenomena ini lebih disebabkan oleh dinamika pasar dan bukan karena cacat bawaan dalam konsep legalisasi. Di bawah pelarangan, pasar ilegal tidak memiliki persaingan dan dapat menetapkan harga tanpa memperhatikan alternatif yang sah. Kini, dengan legalisasi, terdapat pasar kompetitif yang sah yang dapat memengaruhi harga dan ketersediaan.

Penurunan harga ganja per kilo yang signifikan di Meksiko, penurunan sebesar 90%, merupakan bukti dampak persaingan dari pasar legal. Penurunan harga ini menunjukkan bahwa legalisasi, jika dikelola dengan baik, dapat secara efektif menantang dan berpotensi mengurangi kekuatan kartel narkoba.

Selain itu, perbandingan dengan Revolusi Amerika mengenai pajak teh yang berlebihan memberikan persamaan sejarah. Sama seperti para penjajah yang menolak pajak yang menindas, situasi ganja saat ini memerlukan penilaian ulang terhadap strategi perpajakan. Perpajakan yang berlebihan dapat menghambat keberhasilan pasar legal, mendorong konsumen dan penjual ke pasar gelap.

Kesimpulan yang bisa kita ambil adalah bahwa Uskup Agung perlu mengambil langkah dan benar-benar menganalisa posisinya. Jika dia melakukan ini, dia akan memahami bahwa dia mewakili kebijakan yang menindas yang ditempa dalam api kebohongan dan keserakahan…tapi sekali lagi, gereja selalu mengincar 10% persepuluhan dari seluruh penghasilan Anda…Anda tahu, untuk Tuhan dan sebagainya.

KATOLIK TERHADAP GANABIS, BACA BAGIAN 1 DI BAWAH…

LEGALISASI KATOLIK DAN MARIJUANA

Umat ​​Katolik menentang ganja? USKUP AGUNG MENJADI LIAR PADA GULMA!

Stempel Waktu:

Lebih dari GanjaNet